Rabu, 21 Januari 2015

Contoh Kajian Teori pada proposal skripsi

Kajian Teori
 Pengaruh Trust, Commitment, Communication, Conflict Handling Terhadap Customer Loyalty Pada Bank BNI Cabang Kebumen

A.    Kajian Teori
1.      Loyalitas
Loyalitas konsumen didefinisikan sebagai kesediaan pelanggan untuk secara konsisten mengkonsumsi jasa pada penyedia jasa atau perusahaan yang sama serta menjadikannya sebagai pilihan pertama dari berbagai alternatif yang ada dan memenuhinya dengan perilaku serta memberikan sikap dan kesadaran yang baik dengan mengabaikan situasi yang mempengaruhi untuk berpindah ke perusahaan/ penyedia jasa yang lain (Caruana, 1999  dalam Pong dan Yee, 2001).
Sedangkan Olson (1993) dalam Musanto (2004) mendefinisikan loyalitas konsumen merupakan dorongan perilaku untuk melakukan pembelian secara berulang-ulang dan untuk membangun kesetiaan pelanggan terhadap suatu produk atau  jasa yang dihasilkan oleh badan usaha tersebut membutuhkan waktu yang lama melalui suatu proses pembelian yang berulang-ulang tersebutSedangkan Assael (2001) mendefinisikan loyalitas merek sebagai  suatu sikap yang konsisten terhadap pembelian suatu merek secara terus menerus di mana sikap tersebut sebagai suatu pembelajaran terhadap suatu kinerja merek yang mampu memuaskan kebutuhan.
Mowen dan Minor dalam Dharmmesta (1999) mendefinisikan loyalitas merek dalam arti kondisi dimana konsumen mempunyai sikap positif terhadap sebuah merek, mempunyai komitmen pada merek tersebut, dan bermaksud meneruskan pembeliannya di masa yang akan datang.
 Bowen dan Chen (2001) dalam Dimitriades (2006) menjelaskan ada tiga perspektif konsep yang dapat mendefinisikan loyalitas konsumen, yaitu:
a.        Perspektif Perilaku (Behavioral Perspective)
 Perspektif perilaku menjelaskan bahwa loyalitas konsumen dapat dilihat dari perilaku konsumen yang melakukan pembelian ulang terhadap suatu produk atau jasa (Zins, 2001 dalam Dimitriades, 2006). Konsep ini lebih menekankan pada perilaku konsumen di masa lalu dari pada perilaku pada masa yang akan datang. Selain itu, tidak ada perilaku loyalitas lain seperti toleransi harga,  word of mouth, atau  complaint behavior yang diinterpretasikan dalam perspektif ini.
b.  Perspektif Sikap (Attitudinal Perspective)
Perspektif sikap memberikan tambahan pengertian dalam memahami  perilaku loyalitas. Perspektif sikap menjelaskan bahwa loyalitas konsumen dapat dilihat dari aktivitas konsumen untuk merekomendasikan penyedia jasa pada konsumen lain atau komitmen mereka untuk melakukan pembelian ulang pada penyedia jasa tersebut (Gremler dan Brown, 1996).
c.  Perspektif Gabungan (Composite Perspective)
Perspektif ini menggabungkan definisi loyalitas dari perspektif perilaku dan sikap. Perspektif gabungan menjelaskan bahwa loyalitas konsumen dapat dilihat dari konsumen yang memiliki sikap untuk merekomendasikan perusahaan kepada konsumen lain dan melakukan pembelian ulang di perusahaan tersebut.
Barnes (2003) menjelaskan ada delapan keuntungan yang dapat diperoleh perusahaan dari konsumen yang loyal, yaitu:
1)      Mereka membelanjakan lebih banyak
2)      Mereka menjadi nyaman
3)      Mereka menyebarkan berita yang positif
4)      Mereka lebih murah untuk dilayani
5)      Mereka tidak begitu sensitif terhadap harga
6)      Mereka lebih memaafkan
7)      Mereka membuat perusahaan lebih efisien
8)      Mereka berpotensi menghasilkan keuntungan yang lebih besar

Kotler, Hayes, dan Bloom (2002) menyebutkan ada enam alasan mengapa suatu institusi atau perusahaan perlu mendapatkan loyalitas pelanggannya, yaitu:
a. Pelanggan loyal yang ada lebih prospektif, artinya pelanggan loyal     akan memberi keuntungan besar kepada institusi.
b. Biaya mendapatkan pelanggan baru jauh lebih besar dibandingkan   dengan menjaga dan mempertahankan pelanggan yang sudah ada.
c.  Pelanggan yang sudah percaya pada institusi dalam suatu urusan akan
     percaya juga dalam urusan lainnya.
d. Biaya operasi institusi akan menjadi lebih efisien jika memiliki banyak
    pelanggan yang loyal.
e. Institusi dapat mengurangkan biaya psikologis dan sosial. Hal ini dikarenakan pelanggan yang loyal telah mempunyai banyak pengalaman positif dengan institusi.
f.  Pelanggan yang loyal  akan selalu membela institusi, bahkan berusaha pula untuk menarik dan memberi saran kepada orang lain untuk menjadi pelanggan yang loyal.perpustakaan.uns.ac.id  digilib.uns.ac.id

Loyalitas akan berkembang mengikuti empat tahap, yaitu: tahap kognitif, afektif, konatif, dan tindakan. Konsumen akan  loyal lebih dulu pada aspek kognitifnya, kemudian pada aspek afektif, konatif, dan akhirnya pada tindakan.
Mardalis  (2005), Dharmmesta (1999), dan Oliver  (1999) mengemukakan empat tahap loyalitas sebagai berikut:
a.  Loyalitas Kognitif
Pada tahap ini konsumen akan menggunakan informasi keunggulan suatu produk untuk dibandingkan dengan produk lainnya. Loyalitas kognitif lebih didasarkan pada karakteristik fungsional, terutama biaya, manfaat, dan kualitas. Pelanggan yang hanya mengaktifkan tahap kognitifnya dapat  dihipotesiskan sebagai pelanggan yang paling rentan terhadap perpindahan (switching) karena adanya rangsangan pemasaran.
b.  Loyalitas Afektif
Pada tahap ini  loyalitas konsumen didasarkan atas aspek afektif konsumen. Sikap  ini merupakan fungsi dari kognisi (pengharapan) pada periode awal pembelian (masa prakonsumsi) dan merupakan fungsi dari sikap sebelumnya ditambah kepuasan di  periode berikutnya (masa pascakonsumsi). Loyalitas afektif muncul akibat dorongan faktor kepuasan, tetapi  kepuasan belum menjamin adanya loyalitas karena kepuasan konsumen berkolerasi tinggi dengan niat membeli ulang di masa mendatang. Niat membeli ulang,  bahkan pembelian ulang belum menunjukkan adanya loyalitas, hanya dapat dianggap tanda awal munculnya loyalitas. Loyalitas pada tahap  ini jauh lebih sulit dirubah karena loyalitasnya sudah masuk ke dalam benak konsumen sebagai afek, dan bukan sebagai kognisi yang mudah berubah.


 c.  Loyalitas Konatif
Konasi menunjukkan suatu niat atau komitmen untuk melakukan sesuatu ke arah suatu tujuan tertentu. Oleh karena itu, loyalitas konatif merupakan suatu kondisi loyal yang mencakup komitmen mendalam untuk melakukan pembelian. Komitmen seperti ini sudah melampaui afek. Afek hanya menunjukkan kecenderungan motivasional, sedangkan komitmen melakukan menunjukkan suatu keinginan untuk menjalankan tindakan.
d.  Loyalitas Tindakan
Aspek konatif atau niat melakukan adalah kondisi yang mengarah pada kesiapan bertindak dan pada keinginan untuk mengatasi hambatan untuk mencapai tindakan tersebut. Artinya, tindakan merupakan hasil pertemuan dua kondisi tersebut. Dengan kata lain, tindakan mendatang sangat didukung oleh pengalaman mencapai sesuatu dan penyelesaian hambatan. Hal ini menunjukkan bagaimana loyalitas itu dapat menjadi kenyataan: loyalitas kognitif à  loyalitas afektif à  loyalitas konatif à loyalitas tindakan (loyalitas yang ditopang dengan komitmen dan tindakan).
2.      Trust ( Kepercayaan )
Kepercayaan didefinisikan sebagai suatu kerelaan untuk bergantung kepada rekan atau mitra dalam suatu hubungan transaksi di mana dalam diri rekan atau  mitra itulah diletakkan keyakinan (Morgan dan Hunt, 1994). Definisi lain menjelaskan bahwa  trust adalah pengharapan seseorang terhadap perkataan orang lain bahwa apa yang dikatakan tersebut dapat direalisasikan (Murphy et al., 2007). Sedangkan Ndubisi (2007) mendefinisikan trust sebagai kepercayaan pelanggan terhadap janji perusahaan. Selanjutnya, trust merupakan dasar yang dipertimbangkan penting untuk membangun hubungan yang baik dengan konsumen dan menjadi elemen utama untuk mengembangkan suatu hubungan  antara perusahaan dengan konsumen (Liang dan Wang, 2007).
Ganesa dan Shankar (1994) menjelaskan bahwa kepercayaan merupakan refleksi dari dua komponen, yaitu:
a.  Credibility
Didasarkan kepada besarnya kepercayaan kemitraan dengan organisasi lain dan membutuhkan keahlian untuk menghasilkan efektivitas dan kehandalan pekerjaan.
b.  Benevolence
Didasarkan pada besarnya kepercayaan kemitraan yang memiliki tujuan dan motivasi yang menjadi kelebihan untuk organisasi lain pada saat kondisi baru muncul, yaitu kondisi di  mana komitmen tidak terbentuk. Morgan dan Hunt (1994) menyatakan bahwa  trust  merupakan kunci sukses untuk  :

a.  Memelihara hubungan dengan konsumen.
b. Menahan dari berbagai alternatif pilihan sehingga konsumen tetap bertahan pada perusahaan.
c. Membuat konsumen untuk lebih berhati-hati dalam melakukan tindakan-tindakan yang berpotensi memiliki risiko tinggi jika berpindah ke perusahaan lain.
3.      Commitmen ( Komitmen )

Variabel ini didefinisikan sebagai keinginan yang kuat yang bersifat terus menerus untuk selalu menjaga hubungan baik dengan perusahaan (Fullerton, 2003 dan Lacey, 2007). Definisi ini menjelaskan bahwa komitmen yang tinggi mengekspresikan upaya konsumen untuk menjaga  hubungan baik dengan perusahaan. Komitmen merupakan bentuk ekspresi keinginan konsumen untuk tetap loyal menggunakan produk atau jasa dari perusahaan (Liang dan Wang, 2007).
Bansar et al. (2004) menjelaskan ada tiga tipe komitmen, yaitu:
a.  Affective Commitment
Dibangun melalui perasaan kecintaan yang tinggi pada perusahaan yang dapat berupa komitmen individu yang kuat  atau kerelaannya sebagai anggota organisasi dan mempunyai keterlibatan yang tinggi pada organisasi. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa konsumen menggunakan jasa perusahaan karena mereka menginginkannya.
a.         Continuance Commitment
Diartikan sebagai bentuk komitmen yang didasarkan pada pendekatan biaya yang digunakan sebagai alasan utama untuk tetap bersama dengan perusahaan. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa konsumen menggunakan jasa perusahaan karena mereka membutuhkannya.
b.      Normative Commitment
Didefinisikan sebagai bentuk komitmen yang didasarkan pada kewajiban untuk terikat pada perusahaan. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa konsumen menggunakan jasa perusahaan karena hal tersebut merupakan sesuatu yang wajib untuk dilakukan.

Menurut Berry (1999) dalam Jasfar (2005), tingkat komitmen dapat berada pada suatu batas daerah kontinum yang dapat dibedakan atas beberapa tingkat, yaitu:
a.   Interest in Alternative
Komitmen pada tingkat ini timbul karena konsumen merasa tidak ada pilihan lain. Tingkat komitmen ini sangat rendah dan konsumen dapat pindah ke perusahaan penyedia jasa lain karena alasan-alasan sederhana. Misalnya,  karena penyedia jasa lain memberikan potongan harga atau hadiah menarik. Dalam hal ini perusahaan harus mengusahakan agar tingkat komitmen meningkat dengan cara meningkatkan kepuasan konsumen.



b.       Acquisence
Komitmen pada tingkat ini merupakan suatu kesepakatan di antara pihak-pihak yang berhubungan bahwa  dia akan menerima setiap persyaratan dan kebijaksanaan yang telah disepakati.
c.       Cooperation
Tingkat komitmen ini menggambarkan situasi di mana pihak-pihak yang mengadakan hubungan kerjasama bekerja bersama untuk mencapai apa yang diharapkan. Dalam hal ini masing-masing pihak yang terlibat secara langsung mengusahakan tercapainya tujuan bersama.
d.       Enhancement
Merupakan tingkat komitmen keempat yang berarti suatu komitmen dari pihak-pihak yang mengadakan hubungan untuk mengadakan suatu ikatan secara sadar untuk saling memberikan konstribusi yang saling menguntungkan. Misalnya,  perusahaan memberikan tambahan pelayanan bagi konsumennya atau konsumen membantu perusahaan dalam memasarkan produk perusahaan.
e.        Identity
Komitmen pada tingkat ini menggambarkan kuatnya hubungan antara perusahaan dengan konsumen yang tercermin dari sikap masing-masing pihak yang bersedia bekerja sama dalam suatu tim kerja.
f.       Advocacy
Tingkat komitmen ini berkaitan dengan keinginan konsumen untuk menyampaikan hal-hal yang baik mengenai perusahaan yang digunakan jasanya oleh konsumen tersebut. Misalnya, konsumen ikut mempromosikan perusahaan kepada pihak-pihak lain mengenai kelebihan-kelebihan perusahaan (word of mouth).
g.      Ownership
Komitmen tingkat terakhir ini menggambarkan rasa kepemilikan secara emosional bagi pihak-pihak yang mengadakan hubungan. Konsumen merasa bahwa ikatannya begitu kuat dengan perusahaan, sehingga konsumen juga merasa memiliki perusahaan. Jenis komitmen ini merupakan peningkatan atau kombinasi dari  cooperation, enhancement, identity, dan advocacy (Berry, 1999 dalam Jasfar, 2005).

4.      Communication ( Komunikasi )
Menurut Well dan Prensky (1996) komunikasi merupakan penyampaian pesan dari sumber melalui media kepada penerima. Sedangkan Robbins (1996) menyatkan komunikasi adalah proses pentransferan dan pemahaman suatu arti. Komunikasi merupakan penyampaian informasi dari seseorang kepada orang lain. Maksud dari komunikasi tersebut tidak hanya sekedar menyampaikan informasi saja, namun ada harapan dari pemberi informasi tentang mengapa ia mau melakukan komunikasi seperti ide, gagasan, atau saran yang dimilikinya untuk diketahui dan dimengerti oleh penerima informasi dan lebih lanjut mau menerima serta melakukan ide, gagasan, atau saran tersebut.
Masalah komunikasi terjadi apabila ada penyimpangan atau rintangan dalam aliran komunikasi. Adanya kesulitan berkomunikasi merupakan penyebab utama terjadinya permasalahan dalam hubungan (Robbins, 1996).
Komunikasi menjalankan empat fungsi utama di dalam suatu kelompok atau organisasi, yaitu: kendali (kontrol dan pengawasan), motivasi, pengungkapan emosional, dan informasi (Robbins, 1996). Menurut Well dan Prensky (1996) proses komunikasi terdiri atas lima bagian, yaitu:
a.       Sumber komunikasi (source) adalah pengirim informasi atau pengirim komunikasi.
b.      Pesan (message) adalah tidak sekedar isi pesan yang akan dikirim, tetapi juga memuat bentuk fisik dari informasi tersebut akan diletakkan.
c.       Media (medium) adalah merupakan saluran komunikasi antara sumber komunikasi dan penerima, seperti televisi atau majalah.
d.      Penerima (receiver) adalah orang yang menjadi target dari suatu pesan yang dikirim.
e.       Umpan balik (feedback) adalah merupakan hasil informasi dari penerima pesan kepada sumber pengirim pesan.
5.  Conflict Handling (Penanganan Konflik)
A.  Keluhan dan Komplain
Konsumen akan mengeluh apabila merasa tidak puas terhadap barang atau jasa yang mereka beli. Mereka mengeluh karena harapannya tidak terpenuhi. Dalam hal terjadi ketidakpuasan, ada beberapa kemungkinan tindakan yang bisa dilakukan pelanggan (Tjiptono, 1996), yaitu:
1)  Tidak melakukan apa-apa
Pelanggan yang tidak puas tidak melakukan keluhan, tetapi mereka praktis tidak akan membeli atau menggunakan jasa perusahaan yang bersangkutan.
2) Melakukan komplain
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi apakah seorang pelanggan yang tidak puas akan melakukan keluhan atau tidak, yaitu:
a)      Derajat kepentingan konsumsi yang dilakukan
Derajat kepentingan konsumsi yang dilakukan Hal ini menyangkut derajat pentingnya jasa yang dikonsumsi dan harganya bagi konsumen, waktu yang dibutuhkan untuk mengkomsumsi jasa, serta social visibility. Apabila derajat kepentingan, biaya, dan waktu yang dibutuhkan relatif tinggi, maka kuat  kemungkinan bahwa pelanggan akan melakukan keluhan.
b)      Tingkat ketidakpuasan pelanggan
Semakin tidak puas pelanggan, maka semakin besar kemungkinannya untuk melakukan keluhan.
c)      Manfaat yang diperoleh
Apabila manfaat yang diperoleh dalam penyampaian keluhan besar, maka semakin besar pula kemungkinan pelanggan akan melakukan keluhan.
d)     Pengetahuan dan pengalaman
Hal ini meliputi jumlah pembelian sebelumnya, pemahaman akan jasa, persepsi terhadap kemampuan sebagai konsumen, dan pengalaman keluhan sebelumnya.
e)      Sikap pelanggan terhadap keluhan
Pelanggan yang bersikap positif terhadap penyampaian keluhan, biasanya sering menyampaikan keluhannya karena yakin akan maanfaat positif yang akan diterima.
f)       Tingkat kesulitan dalam mendapatkan ganti rugi.
 Faktor ini mencakup waktu yang dibutuhkan, gangguan terhadap aktifitas rutin yang dijalankan, dan biaya yang dibutuhkan untuk melakukan keluhan (Mudie dan Cottam dalam Tjiptono, 1996). Apabila tingkat kesulitan tinggi, maka pelanggan cenderung tidak akan melakukan keluhan.
g)      Peluang keberhasilan dalam melakukan keluhan
 Bila pelanggan merasa bahwa peluang keberhasilannya dalam melakukan keluhan sangat kecil, maka ia cenderung tidak akan melakukannya. Hal sebaliknya terjadi apabila dirasakan peluangnya besar.
Ada beberapa karakter konsumen yang mempunyai kemauan untuk melakukan komplain terhadap  produk atau  jasa yang kurang memuaskan, yaitu: berusia lebih muda, pendidikan yang lebih baik, dan memiliki pendapatan yang lebih tinggi (Miller dalam Bettina et al., 1991). Cobb dan Walgren dalam Angel et al. (1993) juga menyebutkan karakter lainnya dari para pengimplen, yaitu mereka bersikap positif terhadap aktivitas konsumsi pada umumnya dan suka gaya hidup yang berbeda serta individualistik.
 B.  Konflik
Definisi menurut Taquiri dalam Newstorm  dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat dari  pada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi, dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih  secara berterusan. Sedangkan menurut Gibson  et al.  (1997), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain. Menurut Minnery (1985), konflik merupakan interaksi antara dua pihak atau lebih yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan.
Berdasarkan fungsinya, Robbins (1996) membagi konflik menjadi dua  macam, yaitu konflik fungsional (functional conflict) dan konflik disfungsional (dysfunctional conflict). Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok dan memperbaiki kinerja kelompok. Sedangkan konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok. Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner dan
Freeman (1989) membagi konflik menjadi enam macam, yaitu:
1.      Konflik dalam diri individu, terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang  saling bertentangan  atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas kemampuannya.
2.      Konflik antar individu, terjadi karena perbedaan kepribadian (personality differences) antara individu yang satu dengan individu yang lain.
3.      Konflik antara individu dan kelompok, terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok tempat  dia bekerja.
4.      Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama, terjadi karena masing masing kelompok memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
5.      Konflik antar organisasi,  terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya.
6.      Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda,  terjadi sebagai akibat sikap atau perilaku dari anggota suatu organisasi yang berdampak negatif bagi anggota organisasi yang lain.
Berikut ini adalah lima gaya penanganan konflik yang berbeda.
1.      Integrating (problem solving)
Dalam gaya ini pihak-pihak yang berkepentingan secara bersama-sama mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, kemudian mencari, mempertimbangkan, dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah.
2.      Obliging (smoothing)
Gaya obliging lebih memusatkan perhatian pada upaya untuk memuaskan pihak lain dari pada diri sendiri.
3.      Dominating (forcing)
Taktik  dominating  lebih berorientasi  pada diri sendiri yang tinggi dan rendahnya kepedulian terhadap kepentingan orang lain. Gaya ini sering disebut memaksa (forcing) karena menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah.


4.      Avoiding
Gaya  avoiding  biasanya digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sepele atau remeh, atau jika biaya yang harus dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih besar dari  pada keuntungan yang akan diperoleh.
5.      Compromising
Menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Hal ini merupakan pendekatan saling memberi dan menerima (give-and-take approach) dari pihak-pihak yang terlibat.



Ditulis Oleh : Unknown // 22.31
Kategori:

0 komentar :

Posting Komentar

 

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.