Kajian Teori
Pengaruh Trust, Commitment, Communication,
Conflict Handling Terhadap Customer Loyalty Pada Bank BNI Cabang
Kebumen
A.
Kajian Teori
1.
Loyalitas
Loyalitas konsumen didefinisikan sebagai kesediaan pelanggan untuk
secara konsisten mengkonsumsi jasa pada penyedia jasa atau perusahaan yang sama
serta menjadikannya sebagai pilihan pertama dari berbagai alternatif yang ada
dan memenuhinya dengan perilaku serta memberikan sikap dan kesadaran yang baik
dengan mengabaikan situasi yang mempengaruhi untuk berpindah ke perusahaan/
penyedia jasa yang lain (Caruana, 1999
dalam Pong dan Yee, 2001).
Sedangkan Olson (1993) dalam Musanto (2004) mendefinisikan loyalitas
konsumen merupakan dorongan perilaku untuk melakukan pembelian secara
berulang-ulang dan untuk membangun kesetiaan pelanggan terhadap suatu produk
atau jasa yang dihasilkan oleh badan
usaha tersebut membutuhkan waktu yang lama melalui suatu proses pembelian yang
berulang-ulang tersebutSedangkan Assael (2001) mendefinisikan loyalitas merek
sebagai suatu sikap yang konsisten
terhadap pembelian suatu merek secara terus menerus di mana sikap tersebut
sebagai suatu pembelajaran terhadap suatu kinerja merek yang mampu memuaskan
kebutuhan.
Mowen dan Minor dalam Dharmmesta (1999) mendefinisikan loyalitas merek
dalam arti kondisi dimana konsumen mempunyai sikap positif terhadap sebuah
merek, mempunyai komitmen pada merek tersebut, dan bermaksud meneruskan pembeliannya
di masa yang akan datang.
Bowen dan Chen (2001) dalam
Dimitriades (2006) menjelaskan ada tiga perspektif konsep yang dapat
mendefinisikan loyalitas konsumen, yaitu:
a.
Perspektif Perilaku (Behavioral Perspective)
Perspektif perilaku
menjelaskan bahwa loyalitas konsumen dapat dilihat dari perilaku konsumen yang
melakukan pembelian ulang terhadap suatu produk atau jasa (Zins, 2001 dalam
Dimitriades, 2006). Konsep ini lebih menekankan pada perilaku konsumen di masa
lalu dari pada perilaku pada masa yang akan datang. Selain itu, tidak ada
perilaku loyalitas lain seperti toleransi harga, word of mouth, atau complaint behavior yang diinterpretasikan
dalam perspektif ini.
b. Perspektif Sikap (Attitudinal Perspective)
Perspektif sikap memberikan tambahan pengertian dalam memahami perilaku loyalitas. Perspektif sikap
menjelaskan bahwa loyalitas konsumen dapat dilihat dari aktivitas konsumen
untuk merekomendasikan penyedia jasa pada konsumen lain atau komitmen mereka
untuk melakukan pembelian ulang pada penyedia jasa tersebut (Gremler dan Brown,
1996).
c. Perspektif Gabungan (Composite Perspective)
Perspektif ini menggabungkan definisi loyalitas dari perspektif perilaku
dan sikap. Perspektif gabungan menjelaskan bahwa loyalitas konsumen dapat
dilihat dari konsumen yang memiliki sikap untuk merekomendasikan perusahaan
kepada konsumen lain dan melakukan pembelian ulang di perusahaan tersebut.
Barnes (2003) menjelaskan ada delapan keuntungan yang dapat
diperoleh perusahaan dari konsumen yang loyal, yaitu:
1)
Mereka
membelanjakan lebih banyak
2)
Mereka
menjadi nyaman
3)
Mereka
menyebarkan berita yang positif
4)
Mereka
lebih murah untuk dilayani
5)
Mereka
tidak begitu sensitif terhadap harga
6)
Mereka
lebih memaafkan
7)
Mereka
membuat perusahaan lebih efisien
8)
Mereka
berpotensi menghasilkan keuntungan yang lebih besar
Kotler, Hayes, dan Bloom (2002) menyebutkan ada enam alasan mengapa
suatu institusi atau perusahaan perlu mendapatkan loyalitas pelanggannya,
yaitu:
a. Pelanggan loyal yang ada lebih prospektif, artinya pelanggan
loyal akan memberi keuntungan besar
kepada institusi.
b. Biaya mendapatkan pelanggan baru jauh lebih besar dibandingkan dengan menjaga dan mempertahankan pelanggan
yang sudah ada.
c. Pelanggan yang sudah
percaya pada institusi dalam suatu urusan akan
percaya juga dalam
urusan lainnya.
d. Biaya operasi institusi akan menjadi lebih efisien jika memiliki
banyak
pelanggan yang loyal.
e. Institusi dapat mengurangkan biaya psikologis dan sosial. Hal
ini dikarenakan pelanggan yang loyal telah mempunyai banyak pengalaman positif
dengan institusi.
f. Pelanggan yang loyal akan selalu membela institusi, bahkan
berusaha pula untuk menarik dan memberi saran kepada orang lain untuk menjadi
pelanggan yang loyal.perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Loyalitas akan
berkembang mengikuti empat tahap, yaitu: tahap kognitif, afektif, konatif, dan
tindakan. Konsumen akan loyal lebih dulu
pada aspek kognitifnya, kemudian pada aspek afektif, konatif, dan akhirnya pada
tindakan.
Mardalis (2005), Dharmmesta
(1999), dan Oliver (1999) mengemukakan
empat tahap loyalitas sebagai berikut:
a. Loyalitas Kognitif
Pada tahap ini
konsumen akan menggunakan informasi keunggulan suatu produk untuk dibandingkan
dengan produk lainnya. Loyalitas kognitif lebih didasarkan pada karakteristik
fungsional, terutama biaya, manfaat, dan kualitas. Pelanggan yang hanya
mengaktifkan tahap kognitifnya dapat
dihipotesiskan sebagai pelanggan yang paling rentan terhadap perpindahan
(switching) karena adanya rangsangan pemasaran.
b. Loyalitas Afektif
Pada tahap
ini loyalitas konsumen didasarkan atas
aspek afektif konsumen. Sikap ini
merupakan fungsi dari kognisi (pengharapan) pada periode awal pembelian (masa
prakonsumsi) dan merupakan fungsi dari sikap sebelumnya ditambah kepuasan
di periode berikutnya (masa
pascakonsumsi). Loyalitas afektif muncul akibat dorongan faktor kepuasan,
tetapi kepuasan belum menjamin adanya
loyalitas karena kepuasan konsumen berkolerasi tinggi dengan niat membeli ulang
di masa mendatang. Niat membeli ulang,
bahkan pembelian ulang belum menunjukkan adanya loyalitas, hanya dapat
dianggap tanda awal munculnya loyalitas. Loyalitas pada tahap ini jauh lebih sulit dirubah karena
loyalitasnya sudah masuk ke dalam benak konsumen sebagai afek, dan bukan
sebagai kognisi yang mudah berubah.
c. Loyalitas Konatif
Konasi
menunjukkan suatu niat atau komitmen untuk melakukan sesuatu ke arah suatu
tujuan tertentu. Oleh karena itu, loyalitas konatif merupakan suatu kondisi
loyal yang mencakup komitmen mendalam untuk melakukan pembelian. Komitmen
seperti ini sudah melampaui afek. Afek hanya menunjukkan kecenderungan
motivasional, sedangkan komitmen melakukan menunjukkan suatu keinginan untuk
menjalankan tindakan.
d. Loyalitas Tindakan
Aspek konatif
atau niat melakukan adalah kondisi yang mengarah pada kesiapan bertindak dan
pada keinginan untuk mengatasi hambatan untuk mencapai tindakan tersebut.
Artinya, tindakan merupakan hasil pertemuan dua kondisi tersebut. Dengan kata
lain, tindakan mendatang sangat didukung oleh pengalaman mencapai sesuatu dan
penyelesaian hambatan. Hal ini menunjukkan bagaimana loyalitas itu dapat
menjadi kenyataan: loyalitas kognitif Ã
loyalitas afektif à loyalitas
konatif à loyalitas tindakan (loyalitas yang ditopang dengan komitmen dan
tindakan).
2.
Trust ( Kepercayaan )
Kepercayaan didefinisikan sebagai suatu kerelaan untuk bergantung
kepada rekan atau mitra dalam suatu hubungan transaksi di mana dalam diri rekan
atau mitra itulah diletakkan keyakinan
(Morgan dan Hunt, 1994). Definisi lain menjelaskan bahwa trust adalah pengharapan seseorang terhadap
perkataan orang lain bahwa apa yang dikatakan tersebut dapat direalisasikan (Murphy
et al., 2007). Sedangkan Ndubisi (2007) mendefinisikan trust sebagai
kepercayaan pelanggan terhadap janji perusahaan. Selanjutnya, trust merupakan
dasar yang dipertimbangkan penting untuk membangun hubungan yang baik dengan
konsumen dan menjadi elemen utama untuk mengembangkan suatu hubungan antara perusahaan dengan konsumen (Liang dan
Wang, 2007).
Ganesa dan Shankar (1994) menjelaskan bahwa kepercayaan merupakan
refleksi dari dua komponen, yaitu:
a. Credibility
Didasarkan kepada besarnya kepercayaan kemitraan dengan organisasi
lain dan membutuhkan keahlian untuk menghasilkan efektivitas dan kehandalan
pekerjaan.
b. Benevolence
Didasarkan pada besarnya kepercayaan kemitraan yang memiliki tujuan
dan motivasi yang menjadi kelebihan untuk organisasi lain pada saat kondisi
baru muncul, yaitu kondisi di mana
komitmen tidak terbentuk. Morgan dan Hunt (1994) menyatakan bahwa trust
merupakan kunci sukses untuk :
a. Memelihara hubungan
dengan konsumen.
b. Menahan dari berbagai alternatif pilihan sehingga konsumen tetap
bertahan pada perusahaan.
c. Membuat konsumen untuk lebih berhati-hati dalam melakukan
tindakan-tindakan yang berpotensi memiliki risiko tinggi jika berpindah ke
perusahaan lain.
3.
Commitmen ( Komitmen )
Variabel ini didefinisikan sebagai keinginan yang kuat yang
bersifat terus menerus untuk selalu menjaga hubungan baik dengan perusahaan
(Fullerton, 2003 dan Lacey, 2007). Definisi ini menjelaskan bahwa komitmen yang
tinggi mengekspresikan upaya konsumen untuk menjaga hubungan baik dengan perusahaan. Komitmen
merupakan bentuk ekspresi keinginan konsumen untuk tetap loyal menggunakan
produk atau jasa dari perusahaan (Liang dan Wang, 2007).
Bansar
et al. (2004) menjelaskan ada tiga tipe komitmen, yaitu:
a. Affective Commitment
Dibangun melalui perasaan kecintaan yang tinggi pada perusahaan
yang dapat berupa komitmen individu yang kuat
atau kerelaannya sebagai anggota organisasi dan mempunyai keterlibatan
yang tinggi pada organisasi. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa konsumen
menggunakan jasa perusahaan karena mereka menginginkannya.
a.
Continuance Commitment
Diartikan sebagai bentuk komitmen yang didasarkan pada pendekatan
biaya yang digunakan sebagai alasan utama untuk tetap bersama dengan
perusahaan. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa konsumen menggunakan jasa
perusahaan karena mereka membutuhkannya.
b.
Normative
Commitment
Didefinisikan sebagai bentuk komitmen yang didasarkan pada kewajiban
untuk terikat pada perusahaan. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa konsumen
menggunakan jasa perusahaan karena hal tersebut merupakan sesuatu yang wajib
untuk dilakukan.
Menurut Berry (1999) dalam Jasfar (2005), tingkat komitmen dapat berada
pada suatu batas daerah kontinum yang dapat dibedakan atas beberapa tingkat,
yaitu:
a. Interest in Alternative
Komitmen pada tingkat ini timbul karena konsumen merasa tidak ada
pilihan lain. Tingkat komitmen ini sangat rendah dan konsumen dapat pindah ke
perusahaan penyedia jasa lain karena alasan-alasan sederhana. Misalnya, karena penyedia jasa lain memberikan potongan
harga atau hadiah menarik. Dalam hal ini perusahaan harus mengusahakan agar
tingkat komitmen meningkat dengan cara meningkatkan kepuasan konsumen.
b.
Acquisence
Komitmen pada tingkat ini merupakan suatu kesepakatan di antara
pihak-pihak yang berhubungan bahwa dia
akan menerima setiap persyaratan dan kebijaksanaan yang telah disepakati.
c.
Cooperation
Tingkat komitmen ini menggambarkan situasi di mana pihak-pihak yang
mengadakan hubungan kerjasama bekerja bersama untuk mencapai apa yang
diharapkan. Dalam hal ini masing-masing pihak yang terlibat secara langsung
mengusahakan tercapainya tujuan bersama.
d.
Enhancement
Merupakan tingkat komitmen keempat yang berarti suatu komitmen dari
pihak-pihak yang mengadakan hubungan untuk mengadakan suatu ikatan secara sadar
untuk saling memberikan konstribusi yang saling menguntungkan. Misalnya, perusahaan memberikan tambahan pelayanan bagi
konsumennya atau konsumen membantu perusahaan dalam memasarkan produk
perusahaan.
e.
Identity
Komitmen pada tingkat ini menggambarkan kuatnya hubungan antara
perusahaan dengan konsumen yang tercermin dari sikap masing-masing pihak yang
bersedia bekerja sama dalam suatu tim kerja.
f.
Advocacy
Tingkat komitmen ini berkaitan dengan keinginan konsumen untuk
menyampaikan hal-hal yang baik mengenai perusahaan yang digunakan jasanya oleh
konsumen tersebut. Misalnya, konsumen ikut mempromosikan perusahaan kepada
pihak-pihak lain mengenai kelebihan-kelebihan perusahaan (word of mouth).
g.
Ownership
Komitmen tingkat terakhir ini menggambarkan rasa kepemilikan secara
emosional bagi pihak-pihak yang mengadakan hubungan. Konsumen merasa bahwa
ikatannya begitu kuat dengan perusahaan, sehingga konsumen juga merasa memiliki
perusahaan. Jenis komitmen ini merupakan peningkatan atau kombinasi dari cooperation, enhancement, identity, dan
advocacy (Berry, 1999 dalam Jasfar, 2005).
4.
Communication ( Komunikasi )
Menurut Well dan Prensky (1996) komunikasi merupakan penyampaian
pesan dari sumber melalui media kepada penerima. Sedangkan Robbins (1996)
menyatkan komunikasi adalah proses pentransferan dan pemahaman suatu arti.
Komunikasi merupakan penyampaian informasi dari seseorang kepada orang lain.
Maksud dari komunikasi tersebut tidak hanya sekedar menyampaikan informasi saja,
namun ada harapan dari pemberi informasi tentang mengapa ia mau melakukan
komunikasi seperti ide, gagasan, atau saran yang dimilikinya untuk diketahui
dan dimengerti oleh penerima informasi dan lebih lanjut mau menerima serta
melakukan ide, gagasan, atau saran tersebut.
Masalah komunikasi terjadi apabila ada penyimpangan atau rintangan
dalam aliran komunikasi. Adanya kesulitan berkomunikasi merupakan penyebab
utama terjadinya permasalahan dalam hubungan (Robbins, 1996).
Komunikasi menjalankan empat fungsi utama di dalam suatu kelompok
atau organisasi, yaitu: kendali (kontrol dan pengawasan), motivasi,
pengungkapan emosional, dan informasi (Robbins, 1996). Menurut Well dan Prensky
(1996) proses komunikasi terdiri atas lima bagian, yaitu:
a.
Sumber
komunikasi (source) adalah pengirim informasi atau pengirim komunikasi.
b.
Pesan
(message) adalah tidak sekedar isi pesan yang akan dikirim, tetapi juga memuat
bentuk fisik dari informasi tersebut akan diletakkan.
c.
Media
(medium) adalah merupakan saluran komunikasi antara sumber komunikasi dan
penerima, seperti televisi atau majalah.
d.
Penerima
(receiver) adalah orang yang menjadi target dari suatu pesan yang dikirim.
e.
Umpan
balik (feedback) adalah merupakan hasil informasi dari penerima pesan kepada
sumber pengirim pesan.
5. Conflict Handling
(Penanganan Konflik)
A. Keluhan dan Komplain
Konsumen akan
mengeluh apabila merasa tidak puas terhadap barang atau jasa yang mereka beli.
Mereka mengeluh karena harapannya tidak terpenuhi. Dalam hal terjadi
ketidakpuasan, ada beberapa kemungkinan tindakan yang bisa dilakukan pelanggan
(Tjiptono, 1996), yaitu:
1)
Tidak melakukan apa-apa
Pelanggan yang tidak puas tidak
melakukan keluhan, tetapi mereka praktis tidak akan membeli atau menggunakan
jasa perusahaan yang bersangkutan.
2) Melakukan komplain
Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi apakah seorang pelanggan yang tidak puas akan melakukan keluhan
atau tidak, yaitu:
a)
Derajat
kepentingan konsumsi yang dilakukan
Derajat kepentingan konsumsi yang dilakukan Hal ini menyangkut
derajat pentingnya jasa yang dikonsumsi dan harganya bagi konsumen, waktu yang
dibutuhkan untuk mengkomsumsi jasa, serta social visibility. Apabila derajat
kepentingan, biaya, dan waktu yang dibutuhkan relatif tinggi, maka kuat kemungkinan bahwa pelanggan akan melakukan
keluhan.
b)
Tingkat
ketidakpuasan pelanggan
Semakin tidak puas pelanggan, maka
semakin besar kemungkinannya untuk melakukan keluhan.
c)
Manfaat
yang diperoleh
Apabila manfaat yang diperoleh dalam
penyampaian keluhan besar, maka semakin besar pula kemungkinan pelanggan akan
melakukan keluhan.
d)
Pengetahuan
dan pengalaman
Hal ini meliputi jumlah pembelian
sebelumnya, pemahaman akan jasa, persepsi terhadap kemampuan sebagai konsumen,
dan pengalaman keluhan sebelumnya.
e)
Sikap
pelanggan terhadap keluhan
Pelanggan yang bersikap positif
terhadap penyampaian keluhan, biasanya sering menyampaikan keluhannya karena
yakin akan maanfaat positif yang akan diterima.
f)
Tingkat
kesulitan dalam mendapatkan ganti rugi.
Faktor ini mencakup waktu yang dibutuhkan,
gangguan terhadap aktifitas rutin yang dijalankan, dan biaya yang dibutuhkan
untuk melakukan keluhan (Mudie dan Cottam dalam Tjiptono, 1996). Apabila
tingkat kesulitan tinggi, maka pelanggan cenderung tidak akan melakukan
keluhan.
g)
Peluang
keberhasilan dalam melakukan keluhan
Bila pelanggan merasa bahwa peluang
keberhasilannya dalam melakukan keluhan sangat kecil, maka ia cenderung tidak
akan melakukannya. Hal sebaliknya terjadi apabila dirasakan peluangnya besar.
Ada beberapa
karakter konsumen yang mempunyai kemauan untuk melakukan komplain terhadap produk atau
jasa yang kurang memuaskan, yaitu: berusia lebih muda, pendidikan yang
lebih baik, dan memiliki pendapatan yang lebih tinggi (Miller dalam Bettina et
al., 1991). Cobb dan Walgren dalam Angel et al. (1993) juga menyebutkan
karakter lainnya dari para pengimplen, yaitu mereka bersikap positif terhadap
aktivitas konsumsi pada umumnya dan suka gaya hidup yang berbeda serta
individualistik.
B. Konflik
Definisi
menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis
(1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam
berbagai keadaan akibat dari pada
berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi, dan pertentangan di antara
dua pihak atau lebih secara berterusan.
Sedangkan menurut Gibson et al. (1997), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama,
hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika
masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan
sendiri-sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain. Menurut Minnery (1985),
konflik merupakan interaksi antara dua pihak atau lebih yang satu sama lain
berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan.
Berdasarkan
fungsinya, Robbins (1996) membagi konflik menjadi dua macam, yaitu konflik fungsional (functional
conflict) dan konflik disfungsional (dysfunctional conflict). Konflik
fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok dan
memperbaiki kinerja kelompok. Sedangkan konflik disfungsional adalah konflik
yang merintangi pencapaian tujuan kelompok. Berdasarkan pihak-pihak yang
terlibat di dalam konflik, Stoner dan
Freeman (1989)
membagi konflik menjadi enam macam, yaitu:
1.
Konflik
dalam diri individu, terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang saling bertentangan atau karena tuntutan tugas yang melebihi
batas kemampuannya.
2.
Konflik
antar individu, terjadi karena perbedaan kepribadian (personality differences)
antara individu yang satu dengan individu yang lain.
3.
Konflik
antara individu dan kelompok, terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri
dengan norma-norma kelompok tempat dia
bekerja.
4.
Konflik
antar kelompok dalam organisasi yang sama, terjadi karena masing masing
kelompok memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk
mencapainya.
5.
Konflik
antar organisasi, terjadi jika tindakan
yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi
lainnya.
6.
Konflik
antar individu dalam organisasi yang berbeda,
terjadi sebagai akibat sikap atau perilaku dari anggota suatu organisasi
yang berdampak negatif bagi anggota organisasi yang lain.
Berikut ini
adalah lima gaya penanganan konflik yang berbeda.
1.
Integrating
(problem solving)
Dalam
gaya ini pihak-pihak yang berkepentingan secara bersama-sama
mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, kemudian mencari, mempertimbangkan,
dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah.
2.
Obliging
(smoothing)
Gaya
obliging lebih memusatkan perhatian pada upaya untuk memuaskan pihak lain dari
pada diri sendiri.
3.
Dominating
(forcing)
Taktik dominating
lebih berorientasi pada diri
sendiri yang tinggi dan rendahnya kepedulian terhadap kepentingan orang lain.
Gaya ini sering disebut memaksa (forcing) karena menggunakan legalitas formal
dalam menyelesaikan masalah.
4.
Avoiding
Gaya avoiding
biasanya digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sepele atau remeh,
atau jika biaya yang harus dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih besar
dari pada keuntungan yang akan
diperoleh.
5.
Compromising
Menempatkan
seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang memadukan antara
kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Hal ini merupakan pendekatan
saling memberi dan menerima (give-and-take approach) dari pihak-pihak yang
terlibat.
0 komentar :
Posting Komentar