Sabtu, 12 Oktober 2013

makalah khitbah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam merencanakan kehidupan berumah tangga diantara langkah yang harus ditempuh oleh seorang ikhwan adalah menetapkan seorang akhwat yang diinginkan untuk menjadi calon istrinya. Secara syar’i ikhwan tersebut menjalaninya dengan melakukan khithbah (peminangan) kepada akhwat yang dikehendakinya. Adapun salah satu tujuan disyari’atkannya khithbah adalah agar masing-masing pihak dapat mengetahui calon pendamping hidupnya. Islam menganjurkan perkawinan, islam tidak mengajarkan hidup membujang. Allah swt menjelaskan dalam Al Qur’an yang artinya “kawinilah wanita-wanita yang kalian senangi dua, tiga atau empat. (Q.S. An-nisa’4:3). Nikah disyari’atkan Allah seumur dengan perjalanan hidup manusia. Setelah ditentukan pasangan yang akan dinikahi sesuai dengan criteria yang ditetntukan, langkah selanjutnya adalah penyampaian kehendak untuk dinikahi seseorang itu dinamai Khitbah atau dalam bahasa Indonesianya dinamakan Peminangan. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Khitbah / Meminang Dr. Wahbah Az-Zuhaily (dalam MR. Kurnia, 2005:19) menjelaskan yang dimaksud Khithbah adalah menampakan keinginan menikah terhadap seorang perempuan tertentu dengan memberitahu perempuan yang dimaksud atau keluarganya (walinya). Selain itu Sayid Sabiq (ibid) juga menyatakan bahwa yang dikatakan seseorang sedang mengkhitbah seorang perempuan berarti ia memintanya untuk berkeluarga yaitu untuk dinikahi dengan cara-cara (wasilah) yang ma’ruf. Islam telah menganjurkan dan bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk melangsungkan pernikahan (An-Nabhaniy, 2001:146). Berkaitan dengan anjuran untuk menikah, Allah Swt, berfirman : (Nikahilah oleh kalian perempuan-perempuan yang kalian sukai (QS.An-Nisa [4]:3) Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah Saw telah mengingatkan: ‘Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah sanggup memikul beban. Hendaklah ia segera menikah, karena hal itu dapat menundukan pandangan dan menjaga kehormatan. Sebaliknya siapa saja yang belum mampu, hendaklah ia shaum karena hal itu dapat menjadi perisai’. Diantara peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw, adalah yang dilakukan oleh sahabat beliau, Abdurrahman Bin ‘Auf yang mengkhithbah Ummu Hakim Binti Qarizh. Hadits riwayat Bukhari menjelaskannya sebagai berikut : ‘Abdurrahman Bin ‘Auf berkata kepada Ummu Hakim Binti Qarizh:”Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?” Ia menjawab ”Baiklah!”, maka Ia (Abdurrahman Bin ‘Auf) berkata: “Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi.” (HR.Bukhari) Abdurrahman Bin ‘Auf dan Ummu Hakim keduanya merupakan sahabat Rasulullah Saw. Ketika itu Ummu Hakim statusnya menjanda karena suaminya telah gugur dalam medan jihad fii sabilillah, kemudian Abdurrahman Bin Auf (yang masih sepupunya) datang kepadanya secara langsung untuk mengkhitbah sekaligus menikahinya. B. Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam mengakukan pinangan : 1. Wanita yang akan dipinangnya adalah wanita shalihah. Hal ini berdasarkan sabda dari Abdullah bin amir bin al-ash, ia berkata : “wanita yang dinikahi karna empat perkara : karena hartanya,keturunannya,kecantikannya, dan agamanya. Maka carilah wanita yang mempunyai agama, jika tidak engkau akan celaka.” Disamping itu wanita yang dipinang harus memenuhi dua syarat : pertama, pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan hokum yang melarang dilangsungkannya perkawinan. Kedua, belum dipinang orang lain secara sah. Bilamana terdapat halangan-halangan hukum, seperti perempuannya karena suatu hal haram dinikahi selamanya atau sementara, atau telah dipinang lebih dulu oleh orang lain, maka tidak boleh dipinang. 2. Wanita tersebut masih gadis Terdapat dalam sabda Rasulullah, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Al. Baihaqi : “hendaknya kalian menikahi wanita yang masih gadis, karena ia lebih manis tutur katanya, lebih banyak keturunannya, lebih kecil kemungkinan berkhianat dan bias menerima pemberian yang sedikit”. Keistimewaan wanita yang masih gadis dan kedua hadist meliputi lima hal, yaitu : • Lebih manis tuturkatanya • Lebih banyak keturunannya • Lebih kecil kemungkinannya mengkhianati suaminya. • Lebih bias menerima pemberian suami yang sedikit. • Lebih bias diajak bercanda ria. 3. Dibolehkan bagi laki-laki untuk menikahi seorang janda. Dibolehkan seorang laki-laki untuk menikahi seorang janda jika dia melihat ada kemasalahatan dalam hal itu. Hal ini berdasarkan hadis jabir yang telah lewat dan didalamnya disebutkan : “…mengapa engkau tidak memilih seorang gadis sehingga engkau dapat bersenang-senang dengannya dan dan dia dapt bersenang-senang pula denganmu, serta engkau dapat membuatnya tertawa dan diapun dapat membuatnya tertawa?’’ aku berkata : Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai adik perempuan yang masih kecil, sehingga aku kurang suka mendatangkan kepada mereka wanita yang sebayanya dengan mereka. Dan ini lebih mengumpulkan urusanku (yakni aku dapat bersenang-senang dengannya dan adiku dapat diasuhnya olehnya). “ beliau bersabda : “Engkau telah benar dan terbimbing” 4. Memilih wanita yang walud (subur) Menurut HR. Abu Dawud dan Nasai “nikahilah calon istri yang subur (banyak anak) lagi penyayang, karena kelak pada hari kiamat akan membanggakan jumlah kalian yang besar di hadapan umat-umat yang lain”. Untuk mengetahui subur tidak calon istri , penjagagan dilakukan dengan mengamati alur keturunan dari atas. Bagaimana ibunya, banyak anak atau tidak dan berapa jumlah anak dari nenek calon istri dan bahkan sampai keatas lagi. 5. Mengajukan pinangan kepada walinya. Hendaknya dia mengajukan pinangannya kepada wali si wanita. Dan pernikahan itu batil apabila dilakukan tanpa wali yang sah. Hal ini berdasarkan sabda beliau : “wanita manapun yang menikah tanpa izin dari walinya maka pernikahannya batil…batil…batil.” 6. Nazhar (melihat calon istri) Melihatnya laki-laki terhadap perempuan dalam acara pinangan menurut islam dipebolehkan, tetapi hanya melihat muka dan tangannya saja, lain dari pada tidak diperbolehkan. Ini menurut kebanyakan ulama, karena muka cukup sebagai bukti kecantikan dan tapak tangan bias sebagai bukti keserasian tubuh.adapun anda ingin melihat yang yang lebih dari itu, boleh saja seorang laki-laki mengutus ibunya, atau adik perempuannya untuk melihat tubuh atau bentuk rambut dan sebagainya. Bilamanya laki-laki melihat pinangannya ternyata tidak menarik, hendaklah dia diam dan jangan mengatakan sesuatu yang bisa menyakitkan hatinya, sebab boleh jadi wanita tersebut yang tidak disenanginya itu akan disenangi oleh laki-laki lain. Dibolehkannya melihat perempuan yang dikhitbah ini sebenarnya membawa banyak hikmah, diantaranya adalah dengan melihatnya akan lebih memantapkan hati untuk menikahinya. Kebolehan melihat ini adalah kekhususan pada saat mengkhithbah. Wanita melihat laki-laki. Melihat pinangan itu tidaklah hanya khusus buat laki-laki saja , tetapi wanita pun boleh juga. Ia berhak melihat laki-laki yang meminangnya, guna mengetahui hal-hal menyebabkan ia tertarik. Umar berkata, “janganlah kamu nikahkan putri-putri Anda dengan seorang laki-laki yang jelek. Karena hanya dia (laki-laki tsb) yang merasa senang kepadanya, sedang dia (wanita tidak menyukainya”. 7. Meminang pinangan orang lain Diharamkan seseorang meminang pinangan saudaranya, karena berarti ia menyerang hak dan menyakiti hati peminang pertama, memecahbelahkan hubungan kekeluargaan dan mengganggu ketrentaman. Dari Uqbah bin ‘Amir, Rasulullah saw : “Orang mukmin satu dengan yang lainnya bersaudara, tidak boleh ia membeli barang yang sedang dibeli saudaranya, dan meminang pinangan saudaranya sebelum ia tingggalkan.” (HR.AHMAD dan Muslim) 8. Seorang Akhwat Berhak untuk Menerima ataupun Menolak Khithbah An-Nabhaniy (2001:161) mengungkapkan bahwa jika seorang wanita telah dilamar, maka dirinyalah yang berhak untuk menerima ataupun menolak calon suaminya, bukan hak salah seorang walinya ataupun orang-orang yang akan mengawinkannya tanpa seizin wanita yang bersangkutan, dan dia pun tidak boleh dihalang-halangi untuk menikah 9. Tidak Menandai Khithbah Dengan Tukar Cincin Aktivitas tukar cincin adalah saling memberikan cincin (untuk dipakai) antara calon suami dan calon istri sebagai pertanda adanya ikatan pertunangan di antara mereka. Aktivitas ini biasanya dianggap lumrah oleh sebagian besar masyarakat. Menurut Muhammad Thalib (2002:48) bertukar cincin bukan merupakan cara islam melainkan cara bangsa Roma (eropa) yang mendapat pengesahan dari gereja. Jadi, saling tukar cincin pada mulanya bukan merupakan cara umat kristiani pula, melainkan warisan kebudayaan bangsa Romawi. Berkaitan dengan hal ini, maka Rasulullah Saw melarang kaum muslimin untuk meniru-niru kebiasaan kaum kafir. Ia bersabda: Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka (HR. Abu Dawud) 10. Khitbah Bukanlah Setengah Pernikahan Kekeliruan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tentang khithbah sering menggiring mereka pada anggapan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan yang telah melangsungkan peminangan, maka ia boleh melakukan sebagian aktivitas seperti suami-istri asal tidak kelewat batas. Misalnya, jalan berduaan, ngobrol berduaan, dll. Menurut MR Kurnia (2005:25) khitbah bukanlah pernikahan, sehingga akad khitbah bukanlah akad pernikahan. Khithbah sebenarnya hanya merupakan janji kedua pihak untuk menikah pada waktu yang disepakati. Dengan demikian setelah akad khithbah dilangsungkan, maka status bagi keduanya adalah tetap orang asing (bukan mahram) antara satu dengan lainnya Kendati demikian, dalam menjalankan proses khitbah diantara keduanya boleh saling melakukan kebaikan seperti saling memberikan hadiah, menanyakan kepribadian masing-masing (karakter, kesukaan), cara pandang, sikap, dsb. Hal ini karena, khithbah memang merupakan sarana untuk dapat saling mengenal lebih jauh satu sama lain dengan cara yang ma’ruf. Berkaitan dengan pemberian hadiah, Rasulullah Saw bersabda : ‘Saling memberikan hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai’ (HR.Abu Hurayrah). C. PEMBATALAN KHITBAH Dalam melangsungkan proses khithbah, terdapat banyak hal yang akan ditemukan oleh kedua belah pihak (ikhwan-akhwat) terhadap keadaan, karakter, sikap, dan sebagainya, satu sama lain. Sehingga berkaitan dengan fungsi khithbah itu sendiri yaitu sebagai gerbang menuju pernikahan yang di dalamnya terdapat aktifitas saling mengenal (ta’aruf) lebih jauh dengan cara yang ma’ruf, maka apabila ketika dalam aktifitas ta’aruf tersebut salah satu pihak menilai dan mempertimbangkan adanya ketidakcocokan antara dirinya terhadap calon pasangannya ataupun sebaliknya, ia berhak untuk membatalkan khithbah tersebut. Pembatalan khithbah merupakan hal yang wajar, bukanlah hal yang berlebihan. Menganggap hal ini secara berlebihan merupakan perbuatan yang keliru, misal ada anggapan bahwa pembatalan khithbah terjadi karena adanya penilaian bahwa salah satu calon bagi calon yang lainnya memiliki banyak kekurangan kemudian ia pun menganggap sebagai pihak yang tidak akan pernah dapat menikah dengan orang lain nantinya (setelah diputuskan cintanya) karena saat ini pun kekurangan-kekurangan tersebut dinilai telah berimplikasi pada kegagalan khithbahnya dengan seseorang. Padahal itu hanyalah sikap skeptis yang muncul pada dirinya karena lebih terdorong oleh emosional dan kelemahan iman. Seperti halnya dalam mengawali khithbah maka ketika akan mengakhiri khithbah dengan pembatalanpun harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf dan tidak menyalahi ketentuan syara’. Dalam membatalkan khithbah, hal yang perlu diperhatikan adalah adanya alasan-alasan syar’i yang membolehkan pembatalan tersebut terjadi. Misalnya salah satu ataupun kedua belah pihak menemukan kekurangan-kekurangan pada diri calonnya dan ia menilai kekurangan tersebut bersifat prinsip (fatal) seperti dimilikinya akhlak yang rusak (gemar bermaksiat), berpandangan hidup yang menyimpang dari mabda islam, memiliki kelainan seksual, berpenyakit menular yang membahayakan, serta alasan-alasan lain yang dinilai dapat menghambat keberlangsungan kehidupan rumah tangga nantinya apabila berbagai kekurangan tersebut ternyata sulit untuk diubah. Selain pertimbangan berbagai uzur tersebut, pembatalan khithbah juga berlaku apabila adanya qada dari Allah Swt semisal kematian yang menimpa salah satu calon ataupun keduanya sebelum dilangsungkan akad pernikahan. Selain atas dasar alasan-alasan yang syar’i, maka pembatalan khithbah tidak boleh dilakukan, karena hal itu hanya akan menyakiti satu sama lain dan merupakan ciri dari orang-orang yang munafik, karena telah menyalahi janji untuk menikahi pihak yang dikhithbahnya. Rasulullah saw bersabda : Sifat orang munafik itu ada tiga; apabila berkata ia berdusta, bila berjanji, ia menyalahi, dan bila dipercaya ia berkhianat. (HR. Bukhari). Adapun berkaitan dengan sesuatu benda yang pernah diberikan sebagai hadiah/ hibah dan dilakukan sebelum pembatalan khithbah, maka sesuatu/benda tersebut tetap menjadi hak milik pihak penerima. Pihak pemberi, juga tidak boleh meminta kembali sesuatu/ benda yang pernah diberikannya tersebut. Rasulullah saw pernah bersabda : Tidak halal seseorang yang telah memberikan sesuatu atau menghibahkan sesuatu, meminta kembali barangnya, kecuali pemberian ayah kepada anaknya(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmizi, dan Nasa’i dari Ibnu Abbas) BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa meminang adalah menampakan keinginan menikah terhadap seorang perempuan tertentu dengan memberitahu perempuan yang dimaksud atau keluarganya (walinya) yang berarti ia memintanya untuk berkeluarga yaitu untuk dinikahi dengan cara-cara (wasilah) yang ma’ruf. Adapun syarat-syarat perempuan yang boleh di khitbah adalah - Perempuan bukan istri orang lain - Bukan dalam masa iddah karena talaq roj’i - Tidak dalam pinangan orang lain B. Hikmah Menambah pengetahuan tentang khitbah dan pinangan yang disyari’atkan agama islam serta dapat mengetahui syarat-syarat perempuan yang boleh di inang. C. Saran Dari makalah ini kami mengharapkan agar para pembaca khususnya mahasiswa mengetahui makna khitbah dan bagaimana melakukan pinangan yang di syari’atkan agama islam.

Ditulis Oleh : Unknown // 22.16
Kategori:

0 komentar :

Posting Komentar

 
Diberdayakan oleh Blogger.