Sabtu, 12 Oktober 2013

budaya konsumerisme


BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pop culture atau budaya populer memang selalu menarik untuk dikaji. Bagaimana tidak, jika ditelaah dengan pengamatan yang mendalam, keberadaan budaya populer bisa jadi merupakan refleksi dari keberadaan peradaban manusia itu sendiri, pada waktu itu. Dalam artian, jika ingin melihat fenomena yang sedang terjadi cukup amati melalui budaya yang tengah berkembang. Namun di lain pihak, keberadaan budaya populer sering dianggap sebagai sebuah kewajaran. Maksudnya, apapun fenomena yang tengah berlaku dalam masyarakat cenderung dianggap hanya sebagai dampak dari perkembangan masa. Jika diamati lebih dalam, segala bentuk perkembangan dapat saja dikategorikan sebagai budaya populer. Perkembangan dalam hal berbelanja, misalnya, merupakan salah satu contoh yang paling dekat. Yang menarik dari kasus ini adalah bahwa ternyata shopping dinilai sebagai hal yang dianggap dekat dengan remaja, dan disisi lain, remaja merupakan suatu bahasan yang selalu mengundang ransangan untuk selalu ditelaah. Shopping dengan sistem online merupakan salah satu gaya hidup atau populer culture yang mulai digandrungi sekarang. Sejak perkembangan internet meningkat, sebagian besar aktivitas dilakukan dengan lebih instan. Belanja pun lebih praktis. Konsumen tinggal pesan, transfer dan barang pun sampai di rumah. Tak jarang, harga barang di toko online lebih murah daripada toko offline. Hal ini dikarenakan toko online tidak memerlukan biaya operasional yang besar. Murahnya harga inilah yang juga menjadi alasan membeludaknya belanja online. Shopping online akan menjadi gaya hidup dan cara belanja modern karena menghemat uang dan waktu. Pembeli tidak perlu lagi bermacet-macet di jalan dan antre di mall. Budaya populer atau budaya massa juga mendukung komersialisme dan mengagungkan konsumerisme, dibarengi dengan kelebihan keuntungan dan pasar, dan juga mengingkari tantangan intelektual, sehingga cenderung membungkam suara yang bertentangan karena ini merupakan sebuah kebudayaan yang melemahkan semangat dan membuat pasif. Seiring dengan terjadinya perubahan perekonomian dan globalisasi, terjadi perubahan dalam prilaku membeli pada masyarakat, dimana terkadang seseorang membeli sesuatu bukan didasarkan pada kebutuhan sebenarnya. Prilaku membeli yang tidak sesuai dengan kebutuhan dilakukan semata-mata demi kesenangan, sehingga menyebabkan seseorang menjadi boros yang dikenal dengan istilah prilaku konsumtif. Konsumtivisme merupakan paham untuk hidup secara konsumtif, sehingga orang yang konsumtif dapat dikatakan tidak lagi mempertimbangkan fungsi atau kegunaan ketika membeli barang akan tetapi menimbangkan prestise yang melekat pada barang tersebut. Dengan demikian, Baudrillard (dalam Soedjatmiko, 2008:28) mengatakan bila konsumsi merupakan sebuah tindakan (an act), konsumerisme merupakan sebuah cara hidup (a way of life). Konsumsi merupakan cerminan aksi yang tampak, sedangkan konsumerisme lebih terkait dengan motivasi yang terkandung di dalamnya. Secara umum batasan konsumtivisme yaitu kecenderungan manusia untuk menggunakan konsumsi tanpa batas, dan manusia lebih mementingkan faktor keinginan daripada kebutuhan. Dalam era konsumerisme perlombaan untuk memperebutkan citra (konsumsi dan simbol-simbol) menjadi sebuah parade dan menu sehari-hari masyarakat modern, sebab ada sebuah keyakinan bahwa dengan memiliki dan memakai atau mengkonsumsi suatu benda merupakan suatu proses untuk mengidentifikasikan diri sendiri sebagai bentuk pembeda dengan orang lain. Membicarakan tentang hal ini, tak terlepas dari campur tangan industri yang membesarkan pengaruh musikalitas dan yang menjadi gaya hidup saat ini. Budaya Populer, yakni budaya yang terbentuk, merupakan produk industrialisasi, kajian budaya merangkulnya dan melihatnya sebagai ekspresi positif “orang kebanyakan” untuk bertahan. Kajian budaya mengatasi rasa ketidakberdayaan dalam menghadapi kekuatan-kekuatan pasar, politik dan teknologi global dengan mencari ruang gerak tekstual di antaranya. Definisi dari popular atau populer adalah diterima oleh banyak orang, disukai atau disetujui oleh masyarakat banyak. Sedangkan definisi budaya adalah satu pola yang merupakan kesatuan dari pengetahuan, kepercayaan serta kebiasaan yang tergantung kepada kemampuan manusia untuk belajar dan menyebarkannya ke generasi selanjutnya. Selain itu, budaya juga dapat diartikan sebagai kebiasaan dari kepercayaan, tatanan sosial dan kebiasaan dari kelompok ras, kepercayaan atau kelompok sosial. Secara sederhana, budaya populer-lebih sering disebut dengan budaya pop- adalah apapun yang terjadi di sekeliling kita setiap harinya. Apakah itu pakaian, film, musik, makanan, semuanya termasuk dalam bagian dari kebudayaan populer. Hal ini dapat terlihat dari gaya hidup mahasiswa sekarang, yang ingin selalu tampil berbeda di kampus mereka masing-masing. Banyak mahasiswa yang menggunakan kampus sebagai ajang untuk tampil beda bukan hanya untuk mencari ilmu. Definisi gaya hidup di atas secara tidak langsung mengungkapkan bahwa gaya hidup sebagai sub kultur, juga merupakan proses komunikasi, bagaimanapun juga gaya hidup seseorang merupakan usaha untuk menghadirkan makna identitas diri yang dihadirkan lewat simbol-simbol tertentu seperti barang yang dikenakan, pemanfaatan waktu luang dan hal lainnya. Hal ini lagi ditegaskan lagi oleh Spradley dan Geertz (dalam Sobur, 2006: 177) bahwa semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol, makna hanya disimpulkan dalam simbol. Oleh karenanya gaya hidup haruslah dilihat sebagai suatu proses komunikasi dalam interaksi sosial masyarakat, sebab ia menggunakan sejumlah tanda atau simbol sebagai mediumnya. Pada mulanya belanja hanya merupakan suatu konsep yang menunjukkan suatu sikap untuk mendapatkan barang-barang sebagai keperluan sehari-hari dengan jalan menukarkan sejumlah uang sebagai pengganti barang tersebut. Akan tetapi, konsep belanja itu sendiri telah berkembang sebagai sebuah cerminan gaya hidup dan rekreasi di kalangan masyarakat. Belanja merupakan suatu gaya hidup tersendiri, yang bahkan menjadi suatu kegemaran bagi sejumlah orang. Pada saat ini kita sering melihat para mahasiswa kerap kali berbelanja secara berlebihan tanpa memikirkan masalah financial sedikit pun. Kebiasaan ini dapat terlihat tidak hanya dari kalangan mahasiswa sebetulnya tetapi kebiasaan ini banyak dilakukan oleh kaum wanita pada umumnya baik dari golongan remaja maupun golongan dewasa. Sering kita lihat, saat mereka berbelanja banyak pengeluaran yang tidak masuk akal akibat korban dari media seperti : televisi, internet, majalah, dan sebagainya. Mereka tertarik oleh diskon yang ditawarkan oleh para produsen. Hal ini juga didukung dengan kemasan produk yang menarik. Ketertarikan dalam hal berbelanja oleh mahasiwa tak jarang dipicu karena mudahnya mereka mendapatkan uang. Keadaan ekonomi orang tua mereka masing-masing yang terbilang tajir atau dalam arti tercukupi dalam segala hal membuat para anak mereka mendapatkan uang dengan mudah. Ini dapat terlihat oleh para informan-informan peneliti yang rata-rata sebulan dapat menerima uang paling sedikit dua juta rupiah untuk keperluan pribadi mereka. hal itu pun belum tentu cukup untuk mereka, terkadang harus meminta uang tambahan lagi. Selain itu, terlihat dari gaya hidup dari Informan yang rata-rata menggunakan kendaraan priadi ketika berada di kampus. Gaya hidup yang semacam ini terbentuk oleh adanya media, seseorang dapat memiliki gaya tersendiri karena memiliki kiblat atau patokan style dari seseorang lainnya dalam hal ini terkait dengan media. Karena tanpa disadari setiap harinya seseorang dapat dikuasai oleh media, baik itu media elektronik, cetak bahkan yang sekarang lebih populer yaitu media online. Zaman sekarang internet sudah menjadi gaya hidup. Internet merupakan kebutuhan banyak orang karena dengan internet kita bisa mengakses dan menemukan segala macam informasi sampai ke seluruh dunia. Internet tidak dapat dipisahkan dari kehidupan karena internet sekarang bukan hanya sebagai trend tetapi merupakan kebutuhan. Selain itu internet memang memiliki keunggulan sebagai alat dan tujuan bisnis yang sekaligus memiliki daya jangkau pasar hingga ke seluruh dunia. Salah satu layanan di internet yang sekarang diperbincangkan masyarakat umum adalah facebook dan twitter. Kedua jejaring sosial ini selain bermanfaat sebagai akun pertemanan, juga dimanfaatkan sebagai media pemasaran. Hampir semua jenis kebutuhan tersedia di toko online shop, seperti yang berhubungan dengan fashion, baju, celana, sepatu, asesoris, make-up, parfum, kemudian buku, serta barang-barang elektronik seperti handphone, laptop, dan masih banyak lagi. Melihat gaya hidup mahasiswa sekarang, mereka selalu up-to-date mengenai barang-barang teknologi. Contohnya saja mahasiswa tidak bisa lepas dari yang namanya gadget (alat-alat elekronik yang modern). Menurut mereka barang-barang berteknologi sudah mendarah daging dengan mereka. Belum lagi keseharian, dilihat dari tampilan dan dandanan mahasiswa sekarang yang selalu memperhatikan gaya busananya ketika bepergian di kampus. Tak jarang mahasiswa menyiapkan budget khusus untuk keperluan dalam hal berbelanja. Selain itu, kaum wanita sering berbelanja di luar kebutuhannya dan hanya mementingkan kepuasan semata, dengan mengeluarkan uang secara tidak logis. Mereka ingin selalu kelihatan beda dengan teman-teman lainnya dari cara mereka berpakaian, berdandan, dan lain-lainnya. Mereka tidak lagi memperdulikan berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk berbelanja. Gaya hidup mahasiswa adalah gaya hidup kelas menegah, bahkan bisa dibilang gaya hidup kelas atas, yang dicirikan dengan kemampuan mengkonsumsi produk dan gaya hidup modern. Selain mereka menuntut ilmu di kampus, tetapi bagi mereka fashion juga tidak kalah pentingnya. Pakaian yang mereka gunakan di kampus biasanya merupakan pakaian modern keluaran baru. Setiap ada model baru, kebanyakan mahasiswa selalu cepat-cepat ingin membeli pakaian tersebut. Mereka tidak mau kalah dengan teman-temannya. Di antara mahasiswa satu dengan yang lainya saling berlomba-lomba untuk berpenampilan semenarik mungkin. Terbukti sekarang mahasiswa memiliki salah satu gaya hidup modern yaitu konsumerisme yang mengacu pada apa yang dimakan, apa yang dikenakan, dipertontonkan, apa yang dilakukan untuk menghabiskan waktu. Konsumerisme terjadi hanya untuk kesenangan sesaat, menjadi populer saat itu. Ketika di kemudian hari diri sudah tidak memenuhi kriteria populer, perasaan butuh untuk kembali memenuhi kriteria populer bisa muncul. Maka kebudayaan populer bisa jadi sangat dangkal. Orang menerapkannya tidak lagi berdasarkan kesadaran penuh hasil dari proses berpikir yang panjang. Namun hanya untuk memenuhi hasrat yang timbul akibat propaganda media. Konsumerisme demikian menunjukan identitas diri yang dicirikan atau disimbolkan oleh atribut-atribut tertentu. Shopping secara tidak sadar membentuk impian dan kesadaran semu para konsumer dan akhirnya melahirkan pola-pola konsumerisme yang tidak akan ada habisnya. Akhirnya berbelanja juga dianggap sebagai sebuah pekerjaan, sebuah aktivitas sosial dan suatu saat menjadi kompetisi untuk diri sendiri (memutuskan membeli atau tidak) juga terlebih untuk kompetisi pada teman dan anggota masyarakat yang lain (sebagai simbol status, gengsi, dan image manusia modern dan tidak ketinggalan zaman). Dari sinilah keunikan seorang mahasiswa, mahasiswa yang sejogyanya berbelanja buku-buku demi menunjang pelajarannya berbalik lebih memusatkan berbelanja yang berkaitan dengan penampilan mereka semata atau dengan kata lain lebih fashionable dan meninggalkan citranya sebagai kaum terpelajar. Penulis melakukan penelitian di Universitas Hasanuddin Makassar, dikarenakan, penulis berada dilingkungan kampus tersebut, selain itu peneliti dapat lebih mudah menemukan informan berdasarkan informasi dari teman keteman dan tidak lebih canggung melakaukan wawancara karena berada dalam satu lingkunagan kampus, dan intensitas ketemu dengan informan lebih banyak. Selain itu penelitian berpusat pada empat fakultas di Universitas Hasanuddin Makassar, karena menurut mitos orang kebanyakan, penempilan atau gaya hidup mahasiswa kedokteran, sospol, ekonomi dan hukum yang cenderung lebih terlihat mewah dan trendy ketika berada di kampus. Berdasarkan uraian diatas, peneliti memfokuskan penelitian pada mahasiswa Universitas Hasanuddin Makassar mengenai : Budaya Shopping Online (Analisis Gaya Hidup Mahasiswa Universitas Hasanuddin Makassar) B. Rumusan Masalah Dari latar belakang diatas, maka secara spesifik masalah dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apa makna dari “budaya shopping online” terhadap mahasiswa Unhas sehingga mempengaruhi gaya hidup? 2. Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi Mahasiswa Unhas sehingga melakukan shopping online sebagai suatu gaya hidup? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk menemukan jawaban atas masalah-masalah yang telah dikemukakan diatas. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui interpretasi makna shopping online dalam pandangan mahasiswa sebagai suatu gaya hidup yang sedang populer di kalangan mereka. b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi mahasiswa Unhas sehingga memilih berbelanja secara online. 2. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai berikut: a. Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribudi bagi perkembangan teori dalam ilmu komunikasi khususnya studi mengenai kebudayaan masyarakat kontenporer dan penerapan analisis semiotika komunikasi. b. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam memahami kebudayaan masyarakat kontenporer lewat pola interaksi sosialnya. D. Kerangka Konseptual Salah satu ciri masyarakat adalah menciptakan kebudayaan. Dalam masyarakat maya, kebudayaan yang dikembangkan adalah budaya-budaya pencitraan dan makna yang setiap saat dipertukarkan dalam ruang interaksi simbolis. Budaya ini sangat subjektif yang sangat didominasi oleh creator dan imajinater yang setiap saat mencurahkan pemikiran mereka dalam tiga hal secara terpisah. Pertama, kelompok yang senangtiasa bekerja untuk menciptakan mesin-mesin teknologi informasi yang lebih canggih dan realitas. Kedua, kelompok yang setiap saat menggunakan mesin-mesin imajinasi yang menakjubkan dalam dunia hiper-realitas, dan ketiga, masyarakat yang setiap hari menggunakan mesin-mesin dan karya-karya imajinasi itu sebagai dari bagian dari kehidupan. Gaya hidup sering dihubungkan dengan kelas sosial ekonomi dan menunjukkan citra seseorang. Gaya hidup yang ditunjukkan dalam variasi keputusan citra rasanya. Dalam hal merk, merk bukanlah sekedar nama. Di dalamnya terkandung sifat, makna, arti dan isi dari produk bersangkutan. Bahkan dalam perkembangan lebih lanjut merk akan menandai simbol dan status dari produk tersebut. Katakanlah sekarang merk-merk global semacam Gianni Versace, kenso, Gucci, dan lain-lain. ketika orang mengingat merk-merk tersebut asosiasi orang langsung tertuju pada simbol kecantikan dan kemewahan. Para pemakai merk tersebut juga jelas statusnya: kaum berduit yang berselera tinggi. Masyarakat seolah-olah dibuat butuh oleh kapitalisme untuk mengikuti pola konsumsi suatu benda atau jasa. Sementara Giddens (dalam, Jusmani, 2011) menunjukkkan gaya hidup ini tidak lagi masuk pada wilayah kelompok tertentu saja, tetapi hampir pada semua lini kehidupan. Faham idiologis gaya hidup telah menggantikan nilai-nilai cultural, yang tadinya hanya untuk pemenuhan kebutuhan hidup, menjadi gaya, menjadi bagian dari keseharian yang menjadi tanda, bahwa pencinta gaya ini ada serta menandai identitas kelompok pecinta gaya yang muncul sebagai akibat dukungan media dan berbebtuk atas dasar dibuat-buat ada. Sementara, menurut Baudrillard dalam Sobur (2006:172) saat ini kita hidup dalam masyarakat yang tidak lagi mendewakan logika produksi, sebab logika signifikasi itulah yang terpenting. Individu, kata Baudrillard telah bergeser dari fase perkembangan kapitalisme dimana bentuk-bentuk komoditas bersifat dominan ke fase kelaziman-kelaziman bentuk tanda. Dengan demikian konsumsi harus dipahami tidak dalam hubungannya dengan nilai guna, sebagai kegunaan materi, namun terutama kaitannya dengan nilai tanda, sebagai signifikasi. Berbicara mengenai mitos, berarti berbicara mengenai sesuatu yang unik. Selalu ada kaitannya dengan hal-hal yang mistis menurut orang tua dulu. Tetapi dalam tulisan ini, mitos merupakan sebuah sistem komunikasi, yaitu sebuah pesan. Barthes (dalam Strinati,2010:179) menulis , suatu cara penandaan, sebuah bentuk, salah satu jenis tuturan, yang dlakukan melalui wacana. Mitos tidak dapat didefinisikan oleh objek pesannya, tapi oleh cara pengungkapan pesan itu. Dari penjelasan diatas maka berikut ini adalah bagan mengenai kerangka konseptual: E. Definisi Operasional Untuk mengetahui dan memberi pemahaman yang lebih jelas, maka penulis akan menguraikan pengertian kedalam definisi operasional sebagai berikut: • Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan di wariskan dari generasi ke generasi berikutnya. • Shopping online adalah kegiatan pembelian suatu barang dengan memanfaatkan teknologi dengan medium internet. • Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan seseorang dengan orang lain dalam aspek kehidupan sehari-hari. • Mitos adalah Anggapan-anggapan atas pemikiran informan terhadap makna shopping yang dipaparkannya. • Konsumerisme adalah suatu sikap atau pola pikir atau tindakan seseorang dalam membeli barang bukan karena ia membutuhkan barang itu, melainkan karena tindakan membeli itu sendiri memberikan kepuasan kepadanya. F. Metode Penelitian 1. Tempat dan Waktu Tempat penelitian dilakukan di Universitas Hasanuddin Makassar, dengan pemilihan fakultas: Fakultas Sospol, Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum, dan Fakultas Kedokteran Penentuan lokasi ini dilakukan karena menurut pengamatan penulis, mahasiswa ke empat fakultas tersebut kebanyakan memiliki penampilan fashion yang modis ketika berada di kampus, selain itu ke empat fakultas tersebut mahasiswinya lebih menonjol dalam hal berbusana ketimbang fakultas-fakultas lainnya. Dan juga penulis mengamati bahwa rata-rata di fakultas ini mahasiswanya memiliki gaya hidup yang tercukupi artinya bahwa kebutuhan mereka dapat terpenuhi dengan mudah oleh orang tuanya, seperti mahasiswanya rata-rata memiliki kendaraan pribadi ketika ke kampus dan barang-barang yang sedang laku. Sedangkan waktu penelitian dilakukan selama periode Maret 2011 sampai Mei 2011. 2. Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan tipe kualitatif deskriptif. Bentuk penelitian ini pada dasarnya menggali aspek-aspek kualitatif dari data yang ditemukan, untuk selanjutnya dianalisis. Oleh karena itu hasil penelitian ini akan membentuk uraian-uraian kualitatif sebagai upaya untuk mencari jawaban dari objek permasalahan (budaya shopping online). 3. Teknik Menentukan Informan Penentuan informan dilakukan dengan cara mengamati bahwa: Frekuensi pembelian barang-barang secara online, yang berkisar 1-3 kali dalam sebulan. Selain itu juga menggunakan teknik sampel bola salju (snowball sampling) yaitu teknik penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian sampel yang dipilih disuruh memilih teman-temannya untuk dijadikan sampel. 4. Teknik Pengumpulan Data Data Primer adalah pengumpulan data yang dilakukan secara langsung dilapangan dengan menggunakan teknik pengumpulan data yaitu: 1. Field Research atau observasi yaitu dengan mengamati secara langsung lokasi yang menjadi tempat penelitian dan bentuk-bentuk aktifitas apa saja yang dilakukan seseorang dalam berbelanja online. 2. Interview atau wawancara yaitu mengajukan pertanyaan kepada pelaku-pelaku yang sering melakukan belanja online, sehingga diharapkan mampu untuk mengungkap apa makna aktivitas yang mereka lakukan. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai literature, Koran, media on-line, dan lainnya yang relevan dengan masalah yang diteliti. 5. Teknik Analisis Data Data yang didapatkan dari keterangan para informan selanjutnya akan dianalisis secara kualitatif untuk menguraikan makna budaya shopping online.

Ditulis Oleh : Unknown // 21.28
Kategori:

0 komentar :

Posting Komentar

 
Diberdayakan oleh Blogger.