Minggu, 14 April 2013

makalah teori konsumsi

http://newpediainfo.blogspot.com/
I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Islam adalah agama yang mengatur segala aspek kehidupan, tidak terkecuali perilaku manusia. Manusia sebagai Khalifah bagi dirinya sendiri mempunyai peranan yang sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan untuk menjalani kehidupan didunia.Kebutuhan manusia yang beragam jenisnya baik yang bersifat fisik maupun rohani.Islam mengatur bagaimana manusia dapat melakukan kegiatan – kegiatan konsumsi yang membawa manusia berguna bagi kemaslahatan hidupnya.Seluruh peraturan mengenai aktivitas konsumsi terdapat dalam al’Quran dan as-Sunnah. Perilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan al’quran dan as-sunah ini akan membawa pelakunya mencapai keberkahan dan kesejahteraan hidupnya. Dalam islam konsumsi tidak dapat terlepas dari peran keimanan. Keimanan menjadi tolak ukur penting karena memberikan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian manusia. Seorang muslim yang bijak, haruslah mengerti tentang teori – teori konsumsi dan perilaku konsumsi menurut islam yang berpedoman pada al Qur’an dan as-Sunnah demi menuju falah (kebahagiaan dunia dan akhirat). B. RUMUSAN MASALAH Dari latar belakang diatas, maka penyusun mengambil rumusan masalah sebagai berikut : a. Apa sebenarnya tujuan konsumsi dalam islam? b. Bagaimana perilaku konsumsi dalam pandangan islam? c. Bagaimana konsep maslahah dalam prilaku konsumen islami? d. Apa dan bagaimana prinsip – prinsip konsumsi? e. Bagaimana perbedaan antara teori konsumsi konvensional dengan teori konsumsi islami? BAB II PEMBAHASAN Pengertian Konsumsi Dalam mendefinisikan konsumsi terdapat perbedaan di antara para pakar ekonom, namun konsumsi secara umum didefinisikan dengan penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam ekonomi islam konsumsi juga memiliki pengertian yang sama, tapi memiliki perbedaan dalam setiap yang melingkupinya. Perbedaan yang mendasar dengan konsumsi ekonomi konvensional adalah tujuan pencapaian dari konsumsi itu sendiri, cara pencapaiannya harus memenuhi kaidah pedoman syariah islamiyyah. Pelaku konsumsi atau orang yang menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya disebut konsumen. Perilaku konsumen adalah kecenderungan konsumen dalam melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan kepuasannya. Dengan kata lain, perilaku konsumen adalah tingkah laku dari konsumen, dimana mereka dapat mengilustrasikan pencarian untuk membeli, menggunakan, mengevaluasi dan memperbaiki suatu produk dan jasa mereka. Perilaku konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana manusia memilih di antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumberdaya (resources) yang dimilikinya a. Tujuan konsumsi Tujuan utama konsumsi seorang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk beribadah kepada Allah. Sesungguhnya mengkonsumsi sesuatu dengan niat untuk meningkatkan stamina dalam ketaatan pengamdian kepada Allah akan menjadikan konsumsi itu bernilai ibadah yang dengannya manusia mendapatkan pahala. Sebab hal-hal yang mubah bisa menjadi ibadah jika disertai niat pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah, seperti: makan, tidur dan bekerja, jika dimaksudkan untuk menambah potensi dalam mengabdi kepada Ilahi. Dalam ekonomi islam, konsumsi dinilai sebagai sarana wajib yang seorang muslim tidak bisa mengabaikannya dalam merealisasikan tujuan yang dikehendaki Allah dalam penciptaan manusia, yaitu merealisasikan pengabdian sepenuhnya hanya kepada-Nya, sesuai firman-Nya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menghamba kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56) Karena itu tidak aneh, bila islam mewajibkan manusia mengkonsumsi apa yang dapat menghindarkan dari kerusakan dirinya, dan mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allah kepadanya. Sedangkan, konsumsi dalam perspektif ekonomi konvensional dinilai sebagai tujuan terbesar dalam kehidupan dan segala bentuk kegiatan manusia di dalamnya, baik kegiatan ekonomi maupun bukan. Berdasarkan konsep inilah, maka beredar dalam ekonomi apa yang disebut dengan teori: “Konsumen adalah raja”. Di mana teori ini mengatakan bahwa segala keinginan konsumen adalah yang menjadi arah segala aktifitas perekonomian untuk memenuhi kebutuhan mereka sesuai kadar relatifitas keinginan tersebut. Bahkan teori tersebut berpendapat bahwa kebahagiaan manusia tercermin dalam kemampuannya mengkonsumsi apa yang diinginkan. b. perilaku konsumsi dalam pandangan islam. Teori konsumsi konvensional terdapat dua nilai dasar yang akan membedakan antara ekonomi konvensional dengan teori konsumsi dalam islam. Dalam teori konsumsi ekonomi konvensional dua nilai dasar (fundamental values) tersebut adalah rasionalisme dan utilitarianisme.Rasionalisme ini mengandung pengertian bahwa setiap konsumen dalam melakukan kegiatan konsumsi sesuai dengan sifatnya sebagai homo econancus. Dengan kata lain konsumen akan bertindak untuk memenuhi kepentingannya sendiri (self interest).Dapat juga diartikan sebagai perjuangan untuk kepentingan diri yang senantiasa diukur dengan berapa banyak uang atau bentuk kekayaan lain yang diperoleh. Menurut Chapra yang dikutip dalam Hendri, utilitarialisme merupakan suatu pandangan yang mengukur benar atau salah berdasarkan kriteria kesenangan, kesusahan, baik dan buruk. Dua nilai dasar ini perilaku konsumsi seseorang akan bersifat individualis yang diwujudkan dalam bentuk segala barang dan jasa yang dapat memberikan kesenangan atau kenikmatan. Secara sederhana dapat dikatan prinsip dasar konsumsi ekonomi konvesional adalah “saya akan mengkonsumsi apa saja dan dalam jumlah apapun sepanjang anggaran saya memenuhi dan saya memperoleh kepuasan maksimum “ .Prinsip dasar konsumsi dalam pandangan islam adalah anugerah – anugerah Allah itu semua milik manusia dan suasana yang menyebabkan sebagian diantara anugerah – anugerah itu berada ditangan orang-orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan anugerah-anugerah itu untuk mereka sendiri, sedangkan orang lain tidak memiliki bagiannya sehingga banyak diantara anugerah – anugerah yang diberikan Allah kepada umat manusia itu masih berhak mereka miliki walaupun mereka tidak memperolehnya. Dalam fondasi teori perilaku konsumsi islam mempunyai 3 prinsip, yaitu : keyakinan akan hari kiamat dan kehidupan akhirat, konsep sukses, dan fungsi dan kedudukan harta.Keyakinan akan hari kiamat akan membawa efek mendasar pada perilaku konsumsi, yaitu : - Pilihan jenis konsumsi Diorientasikan pada dua bagian yaitu langsung dikonsumsi untuk kepentingan dunia dan untuk kepentingan akhirat. - Jumlah jenis pilihan kemungkinan menjadi lebih banyak, sebab mencakup jenis konsumsi untuk kepentingan akhirat. c. Konsep Maslahah Dalam Perilaku Konsumen Islami Dalam pandangan Islam kepuasan didasarkan pada suatu konsep yang disebut dengan maslahah. Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas dari sekadar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini. Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah. Kegiatan-kegiatan ekonomi meliputi produksi, konsumsi dan pertukaran yang menyangkut maslahah tersebut harus dikerjakan sebagai suatu ‘religious duty‘ atau ibadah. Tujuannya bukan hanya kepuasan di dunia tapi juga kesejahteraan di akhirat. Semua aktivitas tersebut, yang memiliki maslahah bagi umat manusia, disebut ‘needs’ atau kebutuhan. Dan semua kebutuhan ini harus dipenuhi. Mencukupi kebutuhan – dan bukan memenuhi kepuasan/keinginan – adalah tujuan dari aktivitas ekonomi Islami, dan usaha pencapaian tujuan itu adalah salah satu kewajiban dalam beragama. Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut: 1. Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi masing-masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah atau bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria maslahah telah ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu. 2. Maslahah orang per seorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep ini sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain. 3. Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi. Berdasarkan kelima elemen di atas,maslahah dapat dibagi dua jenis: pertama, maslahah terhadap elemen-elemen yang menyangkut kehidupan dunia dan akhirat, dan kedua: maslahah terhadap elemen-elemen yang menyangkut hanya kehidupan akhirat. Dengan demikian seorang individu Islam akan memiliki dua jenis pilihan: 1. Berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk maslahah jenis pertama dan berapa untuk maslahah jenis kedua. 2. Bagaimana memilih di dalam maslahah jenis pertama: berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dunia (dalam rangka mencapai ‘kepuasan’ di akhirat) dan berapa bagian untuk kebutuhan akhirat. Pada tingkat pendapatan tertentu, konsumen Islam, karena memiliki alokasi untuk hal-hal yang menyangkut akhirat, akan mengkonsumsi barang lebih sedikit daripada non-muslim. Hal yang membatasinya adalah konsep maslahah tersebut di atas. Tidak semua barang/jasa yang memberikan kepuasan/utility mengandung maslahah di dalamnya, sehingga tidak semua barang/jasa dapat dan layak dikonsumsi oleh umat Islam. Dalam membandingkan konsep ‘kepuasan’ dengan ‘pemenuhan kebutuhan’ (yang terkandung di dalamnya maslahah), kita perlu membandingkan tingkatan-tingkatan tujuan hukum syara’ yakni antara daruriyyah, tahsiniyyah dan hajiyyah. Penjelasan dari masing-masing tingkatan itu sebagai berikut: 1. Daruriyyah: Tujuan daruriyyah merupakan tujuan yang harus ada dan mendasar bagi penciptaan kesejahteraan di dunia dan akhirat, yaitu jiwa, keyakinan atau agama, akal/intelektual, keturunan dan keluarga serta harta benda. Jika tujuan daruriyyah diabaikan, maka tidak akan ada kedamaian, yang timbul adalah kerusakan (fasad) di dunia dan kerugian yang nyata di akhirat. 2. Hajiyyah: Syari’ah bertujuan memudahkan kehidupan dan menghilangkan kesempitan. Hukum syara’ dalam kategori ini tidak dimaksudkan untuk memelihara lima hal pokok tadi melainkan menghilangkan kesempitan dan berhati-hati terhadap lima hal pokok tersebut. 3. Tahsiniyyah: syariah menghendaki kehidupan yang indah dan nyaman di dalamnya. Terdapat beberapa provisi dalam syariah yang dimaksudkan untuk mencapai pemanfaatan yang lebih baik, keindahan dan simplifikasi dari daruriyyah dan hajiyyah. Misalnya dibolehkannya memakai baju yang nyaman dan indah. . Prinsip-Prinsip Konsumsi d. prinsip – prinsip konsumsi. Menurut Abdul Mannan, dalam melakukan konsumsi terdapat lima prinsip dasar, yaitu: 1. Prinsip Keadilan Prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki yang halal dan tidak dilarang hukum. Artinya, sesuatu yang dikonsumsi itu didapatkan secara halal dan tidak bertentangan dengan hukum. Berkonsumsi tidak boleh menimbulkan kedzaliman, berada dalam koridor aturan atau hukum agama, serta menjunjung tinggi kepantasan atau kebaikan. Islam memiliki berbagai ketentuan tentang benda ekonomi yang boleh dikonsumsi dan yang tidak boleh dikonsumsi. “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi” (Qs al-Baqarah,2 : 169). Keadilan yang dimaksud adalah mengkonsumsi sesuatu yang halal (tidak haram) dan baik (tidak membahayakan tubuh). Kelonggaran diberikan bagi orang yang terpaksa, dan bagi orang yang suatu ketika tidak mempunyai makanan untuk dimakan. Ia boleh memakan makanan yang terlarang itu sekedar yang dianggap perlu untuk kebutuhannya ketika itu saja. 2. Prinsip Kebersihan Bersih dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau penyakit yang dapat merusak fisik dan mental manusia, misalnya: makanan harus baik dan cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Sementara dalam arti luas adalah bebas dari segala sesuatu yang diberkahi Allah. Tentu saja benda yang dikonsumsi memiliki manfaat bukan kemubaziran atau bahkan merusak. “Makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum dan setelah memakannya” (HR Tarmidzi). Prinsip kebersihan ini bermakna makanan yang dimakan harus baik, tidak kotor dan menjijikkan sehingga merusak selera. Nabi juga mengajarkan agar tidak meniup makanan: ”Bila salah seorang dari kalian minum, janganlah meniup ke dalam gelas” (HR Bukhari). 3. Prinsip Kesederhanaan Sikap berlebih-lebihan (israf) sangat dibenci oleh Allah dan merupakan pangkal dari berbagai kerusakan di muka bumi. Sikap berlebih-lebihan ini mengandung makna melebihi dari kebutuhan yang wajar dan cenderung memperturutkan hawa nafsu atau sebaliknya terlampau kikir sehingga justru menyiksa diri sendiri. Islam menghendaki suatu kuantitas dan kualitas konsumsi yang wajar bagi kebutuhan manusia sehingga tercipta pola konsumsi yang efesien dan efektif secara individual maupun sosial. “Makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Qs al-A’raf, 7: 31). Arti penting ayat-ayat ini adalah bahwa kurang makan dapat mempengaruhi jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi dengan berlebih-lebihan tentu akan berpengaruh pada perut. 4. Prinsip Kemurahan hati. Allah dengan kemurahan hati-Nya menyediakan makanan dan minuman untuk manusia (Qs al-Maidah, 5: 96). Maka sifat konsumsi manusia juga harus dilandasi dengan kemurahan hati. Maksudnya, jika memang masih banyak orang yang kekurangan makanan dan minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan yang ada pada kita, kemudian kita berikan kepada mereka yang sangat membutuhkannya. Dengan mentaati ajaran Islam maka tidak ada bahaya atau dosa ketika mengkonsumsi benda-benda ekonomi yang halal yang disediakan Allah karena kemurahan-Nya. Selama konsumsi ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan yang membawa kemanfaatan bagi kehidupan dan peran manusia untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah maka Allah elah memberikan anugrah-Nya bagi manusia. 5. Prinsip Moralitas. Pada akhirnya konsumsi seorang muslim secara keseluruhan harus dibingkai oleh moralitas yang dikandung dalam Islam sehingga tidak semata – mata memenuhi segala kebutuhan. Allah memberikan makanan dan minuman untuk keberlangsungan hidup umat manusia agar dapat meningkatkan nilai-nilai moral dan spiritual. Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan menyatakan terimakasih setelah makan. e. perbedaan antara teori konsumsi konvensional dengan teori konsumsi islami. - Perbedaan kebutuhan dan keinginan Agama islam menolak perilaku manusia untuk selalu memenuhi segala keinginannya.Dalam pemahaman teori konvensional disebutkan yang menjadi penggerak dasar konsumsi adalah keinginan sehingga tercapailah kepuasan maksimum.Berbeda dengan pandangan islam bahwa yang menjadi penggerak dasar konsumsi adalah motif kebutuhan untuk mencapai manfaat yang maksimum. - Perbedaan maslahah dan utility. Maslahah individu akan relative konsisten dedngan maslahah social, sementara utilitas individusanagat mungkin berbeda dengan utilitas social.Hal ini terjadi karena dasar penentuannya yang lebih obyektif sehingga lebih mudah diperbandingkan, dianalisi,dan disesuaikan antara satu orang dengan orang lain, antar individu dan social. Jika maslahah dijadikan tujuandari seluruh pelaku ekonomi yaitu produsen, konsumen dan distributor, maka arah pembangunan ekonomi akan menuju pada satu titik yang sama yaitu peningkattan kesejahteraan hidup ini akan berbeda dengan utilitas, dimana konsumen akan mengukurnya dari pemenuhan keinginannya, produsen dan distributor mengedepankan keuntungan. BAB III PENUTUP A. SIMPULAN Dari pembahasan diatas, penyusun dapat menyimpulkan bahwa agama islam merupakan agama yang komprehensif tidak hanya mengatur urusan akidah saja namun juga dibidang syaria. Begitu pula masalah konsumsi yang dilakukan kita dalm sehari – hari. Tujuan konsumsi seorang muslim pada hakekatnya adalah sebagai sarana penolong untuk beribadah kepada Allah SWT. Mengkonsumsi sesuatu dengan niat untuk meningkatkan stamina dalam ketaatan pengabdian kepada Allah akan menjadikan konsumsi itu bernilai ibadah yang dengannya manusia mendapatkan pahala.Dalam berkonsumsi haruslah memegang teguh eberapa prinsip konsumsi yang diantaranya, prinsip keadilan, kebersihan, kesederhanaan, kemurahan hati,dan moralitas. Konsumsi ekonomi konvensional berbeda sekali dengan konsumsi islami.Konsumsi islami tidak hanya mengedepankan aspek kepuasan didunia saja tetapi juga memikirkan kepuasan alam akhirat. Bagi kaum muslimin kehidupan akhirat merupakan puncak tujuan dari segala tujuan yang ada didunia ini. B. SARAN Saran penyusun ditujukan pada diri kita semua selaku pemeluk ajaran islam. Ajaran islam mengatur seluruh aspek kehidupan, dalam mengkonsumsi suatu barang hendaknya kita berpedoman pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam berkonsumsi kita harus mengetahui manfaat dan keberkahan yang dihasilkan oleh barang yang kita konsumsi tersebut, janganlah kita menuruti semua keinginan kita karena keinginan kita terbagi menjadi dua hal yaitu keinginan yang baik dan keinginan yang buruk. DAFTAR PUSTAKA - Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad. Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab. Jakarta: Khalifa (Pustaka Al-Kautsar Group), 2006. - Anto, Hendrie. Pengantar Ekonomi Mikro Islam,Yogyakarta: Ekonosia, 2003. - Http://painoalganteng.blogspot.com/2011/05/teori-konsumsi-islami.

Ditulis Oleh : Unknown // 19.23
Kategori:

0 komentar :

Posting Komentar

 
Diberdayakan oleh Blogger.